Sejarah Perkembangan Muhammadiyah

 Sejarah Perkembangan Muhammadiyah




A. Kondisi Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan Keagamaan


Sebelum Muhammadiyah Berdiri, Umat Islam di Indonesia pada waktu itu mengalami kemun duran dalam berbagai bidang kehidupan. Kemunduran inilah yang membuat umat Islam sulit untuk bangkit dan melawan penjajah. Berikut ini dijelaskan mengenai kondisi masyarakat Indonesia dalam beberapa bidang sebelum Muhammadiyah berdiri.


1. Bidang Keagamaan


Jauhnya umat Islam dari ajaran yang sebenarnya, dikarenakan telah terjadi sinkretisme, yakni pencampur-adukan ajaran Islam dengan tradisi yang berkembang di masyarakat dalam melaksanakan ibadah. Hal ini dapat dilihat dalam praktik keagamaan masyarakat yang masih melakukan perbuatan perbuatan tahayul, bid'ah, khurafat dan syirik. Tahayul adalah mempercayai khayalan akan datangnya bala atau musibah yang dibawa oleh makhluk Allah, seperti burung, kucing, ular dan lain sebagainya. Bid'ah ialah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw atau oleh para sahabatnya. Khurafat adalah mempercayai kisah-kisah yang bathil, seperti kisah Nyai Roro Kidul yang dikatakan dapat memberikan manfaat dan juga mudharat sehingga harus diberi sesaji. Sedangkan syirik adalah menyekutukan Allah Swt dengan "sesuatu".


"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali-Imran: 104)


2. Bidang Ekonomi Keadaan umat Islam di Indonesia yang mayoritas saat itu masih dipandang rendah oleh pihak penjajah Belanda. Dari sisi ekonomi, kedudukan umat Islam pada umumnya berada dalam keadaan yang terbelakang, hanya sebagian kecil dari umat Islam yang mampu mengembangkan ekonominya. Pada awal abad ke-20, telah tumbuh sejumlah pengusaha pribumi yang dikenal sebagai kelas menengah perkotaan. Usaha-usaha kerajinan tangan dan tekstil mulai tumbuh disepanjang daerah pesisir pantai utara. Namun dihitung modal mereka, jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Belanda dan golongan Cina. Karena itulah pengaruh kolonialisme yang diskriminastif menjadikan sebagian umat Islam tersisihkan.


3. Bidang Pendidikan


Pendidikan Indonesia saat itu masih terbelah menjadi dua arus utama, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda dan pendidikan pesantren. Sejak masa VOC (Vereenigde Oost Indiche Compagnie) atau Perkumpulan Dagang Hindia Timur hingga abad ke-19, pemerintah Belanda tidak pernah memikirkan pendidikan bagi penduduk pribumi.


Setelah adanya politik etis, Belanda akhirnya membuka lembaga-lembaga pendidikan bagi masyarakat pribumi. Bagi pemerintah kolonial Belanda, pendidikan merupakan titik pusat dari strateginya untuk memperkuat cengkeraman kolonialisme di Indonesia. Akan tetapi pendidikan yang diselenggarakan Belanda justru telah membuka ruang kesenjangan yang sedemikian lebar diantara penduduk Indonesia. Kesenjangan tersebut terletak pada sektor budaya dan agama.


Bagi sebagian kalangan umat Islam, sekolah-sekolah Belanda selain dipandang sebagai salah satu usaha untuk "membelandakan" pelajar Indonesia. Anak didik di sekolah sekolah Belanda selain hanya diajarkan ilmu pengetahuan umum dan budaya Barat, mereka juga dijauhkan dari pelajaran agama Islam. Disinilah, misi kristenisasi Belanda berjalan melalui jalur pendidikan.


Sedangkan, pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan bagi umat Islam yang cukup tua usianya. Pendidikan yang diselenggarakan umat Islam melalui pesantren hanyalah berfungsi sebagai pusat dakwah Islam yang membentuk kelompok ekslusif di wilayah yang telah di-Islam-kan. Kitab kitab klasik karangan ulama klasik merupakan satu-satunya pelajaran yang diberikan di pesantren. Model pendidikan yang diselenggarakan di pesantren jelas belum mampu menjawab kebutuhan zaman.


4. Bidang Politik


Imperialisme dan kolonialisme telah membuat masyarakat Indonesia tidak berdaya. Kemiskinan dan pemerasan merupakan dampak nyata dari sikap imperialis dan kolonialis Belanda. Sikap politik yang demikian menjadikan masyarakat tidak diberikan kesempatan sedikitpun untuk mengambil tindakan dan kebijakan yang dapat memperbaiki nasib bangsanya. Belanda cukup cerdik dalam memecah belah masyarakat Indonesia, terbukti dengan adanya sebagian golongan masyarakat yang ditarik menjadi pejabat Belanda, yang selanjutnya membawa dampak terpecahnya konsentrasi masyarakat dalam melawan kolonialisme Belanda.


Keempat bidang yang telah diuraikan di atas merupakan suatu gambaran terkait permasalahan masyarakat Indonesia. Apabila persoalan-persoalan tersebut dibiarkan berlarut larut maka, bukan tidak mungkin umat Islam akan selalu berada dalam genggaman kolonialisme Belanda. Oleh sebab itu diperlukan suatu obat untuk menyelesaikan persoalan persoalan tersebut. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, salah satu obat yang mujarab adalah organisasi yang bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.


B. K.H. Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Pembaruan Islam di Indonesia


K.H. Ahmad Dahlan, bernama asli Muhammad Darwis, lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868. Ayahnya, KH. Abu Bakar adalah seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sementara ibunya, Siti Aminah adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Dilihat dari garis silsilahnya, Darwis memiliki garis keturunan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang walu oenyebar agama Islan yg dikenal di pulau Jawa.

Silsilah tersebit dapat dilihat di bawah ini:


Sesuai latar belakang keluarga dari golongan muslim yang taat, pada diri Darwis kecil telah ditanamkan nilai-nilai agama oleh kedua orangtuanya. Sejak usia 8 tahun, Darwis telah lancar dan tamat membaca Al-Qur'an. Sewaktu kecil Darwis termasuk anak yang rajin, jujur dan suka menolong. Bahkan sejak kecil, Darwis telah memperlihatkan kepandaian dalam membuat kerajinan tangan dan barang-barang permainan seperti layang-layang dan gasing, sehingga ia disukai oleh teman-temannya.


Setelah bertambah usia, Darwis belajar fiqh dari KH Muhammad Saleh, belajar nahwu dari KH. Muhsin, dan juga belajar ilmu agama Islam lebih lanjut pada kakak iparnya KH. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur. Ketika berangkat Haji, Darwis juga belajar kepada guru-gurunya di Arab Saudi. Belajar ilmu hadits kepada Kyai Mahfud Termas dan Syekh Khayat, ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, ilmu falaq pada KH. Dahlan Semarang, dan juga belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Ketika menunaikan ibadah haji, beliau berkomunikasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia, seperti Kyai Mahfud dari Termas, Syekh Ahmad Khatib, Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Nahrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten. Ketika menunaikan ibadah haji yang kedua pada tahun 1903, beliau bermukim di Arab Saudi selama hampir dua tahun. Disana beliau belajar dengan beberapa ulama. Belajar Fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Tamami dan Syekh Sa'id Babusyel. Belajar hadits dengan Mufti Syafi'i, ilmu falaq pada Kyai Asy'ari Bawean, ilmu qiraah dari Syekh Ali Misri Makkah.


Berikut ini merupakan sejumlah pembaruan atau kepeloporan KH. Ahmad Dahlan dalam merintis dan meletakkan dasar gerakan pembaruannya yaitu:


1. meluruskan arah kiblat dan menjauhkan praktik keagamaan


dari syirik, tahayul, bid'ah dan khurafat.


2. pembinaan umat melalui pengajian-pengajian secara melembaga.


3. mempelopori pendirian sekolah/madrasah modern.


4. mendirikan PKU, Panti Asuhan dan pelayanan sosial. 


5. mendirikan Taman Pustaka, Majalah Suara Muhammadiyah, dan Lembaga Penolong Haji, dan lain sebagainya.


Dari berbagai rintisan amaliah yang cemerlang dan dibutuhkan langsung oleh umat Islam dan juga masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa pemikiran dan langkah K.H. Ahmad Dahlan telah menorehkan kepeloporan pembaruan amal Islami di negeri tercinta ini. Islam di tangan K.H. Ahmad Dahlan bersama dengan gerakan Muhammadiyah-nya telah menjelma menjadi amal nyata yang berwajah rahmatan lil-'alamin.


C. Sebab-sebab Subjektif dan Objektif Berdirinya Muhammadiyah


Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, yaitu faktor subjektif dan faktor objektif. Kedua faktor ini merupakan hasil pengamatan dan pemetaan atas proses dan latar belakang berdirinya Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa persyarikatan Muhammadiyah didirikan dengan maksud agar umat Islam mau mencontoh atau meneladani Nabi Muhammad saw.


1) Faktor Subjektif


Faktor subjektif merupakan artikulasi dari penyebab lahirnya Muhammadiyah yang didasari oleh kegelisahan diri K.H. Ahmad Dahlan. Dalam literatur Muhammadiyah, faktor subjektif ini bahkan telah disebut-sebut sebagai pendorong utama berdirinya Muhammadiyah. Hal ini disebabkan karena kegelisahan itu muncul tatkala K.H. Ahmad Dahlan telah mendalami, menelaah, mengkaji dan membahas isi kandungan yang terdapat dalam Al-Qur'an. Sikap yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan tersebut merupakan bentuk dari pelaksanaan. firman Allah yang terdapat dalam beberapa ayat berikut, yakni:


أفلا يتدبرون القرآن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه


اختلافا كثيرا


Artinya:


Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An Nisaa' (04): 82)


أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها ©


Artinya:


Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad (47): 24).


Kedua ayat di atas menjelaskan agar siapa saja, mau mencermati dan mentadabburi Al Qur'an secara penuh dan teliti terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap yang demikian ini dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dalam mencermati, mengkaji dan membahas isi kandungan QS. Al Imran ayat 104 yang berbunyi:

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأوليك هم المفلحون *


Artinya: Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat menyeru kepada kebajikan menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.


Berdasar pada pemahaman terhadap QS. Ali-Imran ayat 104 tersebut K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi. Persyarikatan ini didirikan dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar, mengembalikan umat Islam yang telah menyimpang ke jalan yang telah digariskan oleh Allah Swt dan Rasulullah Muhammad saw. Oleh sebab itu, maka faktor subjektif yang dimaksud adalah dorongan dari dalam diri K.H. Ahmad Dahlan dalam mengimplementasikan isi kandungan Al Qur'an ke dalam kehidupan nyata.


2) Faktor Objektif Terdapat beberapa faktor objektif yang melatarbela kangi berdirinya Muhammadiyah. Faktor objektif ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu internal dan eksternal. Bagian internal yaitu kondisi yang telah terjadi pada umat Islam Indonesia itu sendiri. Sedangkan bagian eksternal meliputi kondisi yang terjadi di luar umat Islam di Indonesia. Persolan internal yang dimaksud meliputi beberapa hal, yakni: 


1. Al-Qur'an dan Sunnah nabi tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Akibatnya banyak muncul perbuatan bid'ah, khurafat dan tahayul ditengah-tengah masyarakat.


2. semakin merosotnya kondisi umat Islam, baik dalam bidang ekonomi dan politik, yang disebabkan karena adanya sikap apatis terhadap masalah duniawi.


3. tidak efisiennya lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren) sehingga lulusannya belum dapat mengemban misi selaku khalifah Allah di atas bumi.


4. tidak adanya jalinan ukhuwah Islamiyah yang kuat untuk membela kepentingan umat Islam.


Sementara, faktor eksternal yang dimaksud meliputi beberapa hal, yakni:


1. adanya kolonialisme dan imperialisme Belanda yang mengakibatkan umat Islam dan bangsa Indonesia dalam kesengsaraan dan kemiskinan. 


2. adanya gerakan Kristenisasi dari pemerintahan Belanda, dalam upaya memperkokoh cengkeramannya dalam menjajah negeri ini, dengan usaha menyamakan ideologi bangsa terutama pada masa S.A.W Van Idenburg (1909-1916).


3. sikap para cendekiawan Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan Barat dan menganggap Islam tidak sesuai dengan kemajuan zaman. 4. adanya pengaruh dari gerakan reformasi dan modernisasi Islam yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.


D. Tantangan dan usaha-usaha K.H. Ahmad Dahlan dan para sahabatnya dalam mendirikan dan memperjuangkan Muhammadiyah


Islam yang otentik dan murni bagi K.H. Ahmad Dahlan adalah Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits. Oleh karena itu, kembali kepada doktrin tersebut merupakan hal yang harus dilakukan. Doktrin ini membuka ruang untuk dilakukannya ijtihad, dimana akal dipergunakan untuk memecahkan problem kontemporer. Nilai-nilai profetik Islam yang diperjuangkan K.H. Ahmad Dahlan tercermin dalam tindakan nyata untuk terlibat dalam wilayah kemanusiaan. la menerjemahkan ajaran Islam dalam wilayah kemanusiaan dengan menggarap kerja sosial, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan. Islam dipadukan dengan semangat modernitas, sebagai reaksi atas praktik keagamaan di kalangan umat Islam yang saat itu tampak tidak utuh.


Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar. Meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat, beliau membuka lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taklid. Beliau dapat dikatakan suatu model dari bangkitnya sebuah generasi yang menjadi titik pusat dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi umat Islam. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih banyak menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi. K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan agama Islam dan kerja-kerja sosial lainya.


K.H. Ahmad Dahlan merupakan pribadi bertipe man of action sehingga sudah tepat apabila mewariskan cukup banyak amal usaha, bukan sekedar tulisan. Sebelum Muhammadiyah berdiri, K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, ia diangkat sebagai khatib masjid besar Yogyakarta dengan mendapat gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907), ia mempelopori Musyawarah 'Alim Ulama dan dalam rapat pertama beliau menyampaikan masalah arah kiblat masjid besar Yogyakarta yang kurang tepat.


Tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan Budi Utomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang hendak dilakukannya. Keanggotaan K.H. Ahmad Dahlan dalam Budi Utomo memberikan kesempatan luas baginya untuk berdakwah kepada para anggotanya, dan mengajar agama Islam kepada peserta didik yang belajar di sekolah Belanda. Sekolah sekolah itu diantaranya adalah Kweekschool di Jetis, OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), serta sekolah Pamong Praja di Magelang. Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan juga tergabung dalam Jamiat Khair, yang merupakan organisasi yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan, yang anggotanya mayoritas adalah orang-orang Arab. Keterlibatannya dalam dua organisasi ini menambah pemahaman K.H. Ahmad Dahlan yang kemudian tergerak untuk mendirikan organisasi dan menyelenggarakan pendidikan modern.


Dalam upaya menangani persoalan kebodohan, keterbelakangan, kristenisasi dan penyebaran ajaran agama. Islam kepada masyarakat luas, K.H. Ahmad Dahlan melakukan pembaruan di bidang pendidikan. Pembaruan tersebut dilakukan dengan mendirikan sekolah/madrasah bersistem modern. Sekolah/madrasah ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja, tetapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Dengan sekolah/madrasah bersistem modern ini, anak-anak muslim bumi putera diharapkan memperoleh wawasan luas mengenai persoalan dunia dengan tanpa meninggalkan nilai nilai dan spiritualitas Islam.


Ternyata pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tersebut belum mendapatkan respon positif dari para santri dan penduduk Kauman. Sebagian dari mereka bersikap acuh tak acuh dan bahkan ada juga yang secara tegas menolak niatan pendirian lembaga pendidikan modern itu karena dianggap menyalahi tradisi umat Islam. Ide yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dianggap menyalahi tradisi pendidikan Islam yang berkembang. Akan tetapi sebagai pribadi yang berpendirian teguh, KH Ahmad Dahlan tidak menghiraukan respon kurang mendukung yang ditampilkan oleh sebagian penduduk Kauman tersebut.


Pada tanggal 1 Desember 1911, K.H. Ahmad Dahlan mulai merintis amal usaha di bidang pendidikan, yakni Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah atau Sekolah Rakyat. Sekolah ini menggunakan sistem pendidikan Barat. Kurikulum yang digunakan adalah perpaduan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, atau yang biasa disebut dengan sistem integralistik. Proses belajar mengajar diselenggarakan di dalam kelas dengan menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Peserta didiknya pun terlihat sangat rapi dan bersih, sebab mereka mengenakan seragam dan bersepatu. Selain itu peserta didik juga diajarkan untuk bernyanyi do, re, mi, fa, sol dengan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab serta bahasa Belanda.


Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini berada di ruang tamu rumahnya, berukuran panjang enam meter dan lebarnya dua setengah meter. Di dalam sekolah/madrasah ini hanya terdapat tiga buah meja dan tiga dingklik (kursi panjang) yang terbuat dari kayu jati putih dari luar negeri, serta satu papan tulis dari kayu suren. Peserta didik yang belajar disini adalah anak dari keluarga K.H. Ahmad Dahlan sendiri. Pada awalnya, peserta didik yang tergabung dalam sekolah/madrasah ini sebanyak sembilan orang. Ketika peserta didiknya bertambah tiga orang, maka barulah ditambah satu meja dan satu bangku sekolah/madrasah lagi. Sedikit demi sedikit berjalan terus, dan menginjak bulan yang keenam,peserta didik di sekolah/madrasah ini telah mendekati 20 orang anak, dan pada bulan ke tujuh, sekolah/madrasah ini mendapat bantuan guru dari Budi Utomo.


Sekalipun telah mendapat dukungan dari Budi Utomo, namun usaha yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan juga mendapatkan banyak rintangan. Indikasi rintangan tersebut sudah disadari oleh K.H. Ahmad Dahlan, mengingat saat mensosialisasikan gagasannya tentang pendirian sekolah/ madrasah modern, penolakan dan penentangan penduduk Kauman sudah mengemuka. Berangkat dari indikasi tersebut beliau sudah bersiap diri dengan berbagai hujatan dan olok olokan yang mungkin akan ia terima dari sebagian penduduk Kauman. Sampai akhirnya saat itu ia dituduh sebagai kyai palsu, kristen alus, dan bahkan dianggap kafir. Beragam tuduhan itu dilancarkan karena K.H. Ahmad Dahlan mengadaptasi model pendidikan sekolah Belanda, yang bagi sebagian umat Islam telah dipandang mewakili kaum Kristen dan kafir.


Akhirnya tuduhan-tuduhan negatif tersebut mempenga ruhi para peserta didik K.H. Ahmad Dahlan untuk tidak masuk sekolah/madrasah dan meninggalkan sekolah/madrasah yang telah didirikan K.H. Ahmad Dahlan. Melihat kenyataan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tidak tinggal diam, ia tidak segan-segan mendatangi satu persatu rumah para peserta didiknya agar kembali lagi ke sekolah/madrasah. Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan tersebut merupakan suatu kegiatan yang tidak lazim, sebab tradisi yang berkembang bukanlah guru mencari murid, akan tetapi seharusnya muridlah yang mencari guru.


Seiring berjalannya waktu, rintisan sekolah/madrasah ini terus berkembang, hingga pada suatu ketika K.H. Ahmad Dahlan mendapat usulan cerdas dari salah seorang siswanya, agar lembaga pendidikan yang didirikannya itu tidak dipegangnya sendiri. Sebab jika suatu saat beliau meninggal dunia, dan tidak ada ahli waris yang mampu meneruskan perjuangannya, maka lembaga pendidikan yang telah didirikannya itu akan berhenti Lebih lanjut, akhirnya, setelah bertambahnya pengalaman, melalui berbagai pertemuan, pematangan rencana, diteruskan dengan persiapan untuk membentuk sebuah organisasi, maka pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H, bertepatan dengan 18 November 1912 M, berdirilah gerakan Islam yang diberi nama Muhammadiyah. Deklarasi berdirinya Muhammadiyah dilakukan di tempat terbuka yakni di gedung Loodge Gebouw di Malioboro Yogyakarta (Sekarang gedung DPRD Provinsi DIY). Hal ini bertujuan agar berdirinya Muhammadiyah diketahui oleh pemerintah dan pejabat kesultanan hingga masyarakat luas.


Nama persyarikatan Muhammadiyah, diberikan langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah adalah, nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir, Muhammad saw. Berdasar pada nama itu, setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad saw. Pilihan nama organisasi didasarkan pada pertimbangan objektif. Agar tidak bersifat eksklusif Muhammadiyah merupakan nama yang tepat.


Dari segi bahasa, Muhammadiyah berarti umat Nabi Muhammad saw atau pengikut Nabi Muhammad saw, untuk mengikuti jejak dan meneladani sunnah Nabi Muhammad saw. Siapapun yang mengaku beragama Islam dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw, maka ia berarti Muhammadiyah. Dengan menisbahkan diri pada keteladanan Nabi Muhammad saw Muhammadiyah berusaha menghidupkan ajaran Islam yang murni dan otentik, dengan tujuan untuk memahami dan melaksanakan agama Islam yang telah dicontohkan oleh Rasul Allah Muhammad saw. Sedangkan menurut istilah Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah.


Ketika surat keputusan pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda tahun 1914, K.H. Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu, yaitu Sapa tresna. Pada tahun 1920, perkumpulan ini diubah namanya menjadi 'Aisyiyah. Tugas pokoknya adalah mengadakan pengajian khusus bagi kaum perempuan. Sebagai ciri khusus, peserta pengajian Sapa Tresna ini diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin oleh Nyai Ahmad Dahlan.


Tahun 1917, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan pengajian malam Jum'at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahirlah Korps Muballigh Keliling. Adapun tugas dari Korps Muballigh Keliling ini adalah menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin dan orang yang sedang dilanda musibah. Perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap generasi muda juga tampak sangat besar. Pada tahun 1918, beliau mendirikan pandu Hizbul Wathan yang saat itu diketuai langsung oleh haji Muchtar. Diantara alumni Hizbul Wathan yang kemudian menjadi pahlawan nasional adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1931 didirikan Nasyiatul Aisyiyah atau yang sekarang lebih dikenal dengan Nasyiah. Sedangkan dalam bidang sosial, pada tahun 1920, didirikanlah Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah.


Tahun 1921 berdiri pula badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia. Lembaga haji tersebut bertugas membantu pelaksanaan ibadah haji bagi kaum muslim Indonesia baik berangkat, selama di tanah suci sampai kembali ke tanah air. Di samping itu juga didirikan mushalla khusus perempuan. Mushalla khusus perempuan ini adalah mushalla yang pertama kali didirikan di Indonesia. Tahun 1922, K.H. Ahmad Dahlan membentuk Badan: Musyawarah Ulama. Tujuan dibentuknya badan ini adalah untuk mempersatukan ulama di seluruh Hindia Timur dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam, khusunya bagi anggota Muhammadiyah. Badan Musyawarah Ulama ini diketuai oleh R.H. Mohammad Kamaludiningrat, seorang penghulu kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Mohammad Kamaludiningrat inilah yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah untuk mendirikan Majelis Tarjih. Majelis ini akhirnya berhasil dibentuk pada tahun 1927 dan diketuai oleh Kyai Haji Mas Mansur. 

Perkembangan ini menandakan bahwa sejatinya gerakan Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat secara luas, seperti yang terjadi dalam bidang pendidikan. Secara pelan namun pasti, pendidikan Muhammadiyah mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun 1922, Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah/madrasah, dengan 73 orang guru dan 1.019 peserta didik. Perkembangan ini tentu tidak dapat lepas dari perkembangan organisasi Muhammadiyah sendiri. Perlu diketahui bahwa setiap pendirian cabang Muhammadiyah yang baru sangat identik dengan didirikannya sekolah/madrasah Muhammadiyah. Karena itu, keduanya bagaikan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pada tahun 1921, Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogayakrta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Selanjutnya tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat) dan Sungai Liat (Bangka).


Disamping disebabkan karena faktor dakwah yang dilakukan dengan kontak langsung, perkembangan Muhammadiyah juga dipengaruhi oleh penyebaran informasi yang disampaikan secara masif melalui media massa. Salah satu media yang dijadikan sebagai sarana penyampai informasi dan dakwah Islam tersebut adalah majalah Soewara Moehammadijah. Majalah ini didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1915. Pada masa awal, staf redaksi majalah ini dipegang langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Karena itu, pada tahap selanjutnya, majalah Soewara Moehammadijah ditetapkan sebagai organ resmi Muhammadiyah..


Berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas menggambarkan betapa banyak rintisan amal usaha yang telah diperjuangkan K.H. Ahmad Dahlan. Dakwah Islam yang digerakkan Muhammadiyah bukan berputar-putar pada wacana, tetapi aksi sosial. Melihat gerakan K.H. Ahmad Dahlan tampak jelas beliau merupakan sosok manusia amal atau man of action. Dalam konteks ini beliau membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai muslim, yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan dan perbuatan. Upaya K.H. Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah berangkat dari sebuah proses yang cukup panjang, yang bermula dari mimpi yang mampu beliau aktualisasikan dalam kenyataan.



Sumber: Buku Paket Pendidikan Kemuhammadiyahan SMA/SMK Muhammadiyah terbitan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah

Komentar

POPULER