Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia

Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia

Unduh materi PPT disini

Pendahuluan

Indonesia yang secara data statistik menempati P jumlah populasi penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, mayoritas adalah umat Islam. Menurut survey selama lima tahun terakhir terdapat 232 negara dunia oleh Pew forum on Religion and Public Life (forum keagamaan dan kehidupan public) Amerika Serikat, jumlah populasi penduduk dunia mencapai lebih dari 7 milyar. Sedangkan jumlah umat Islam dunia mencapai 1.57 milyar, yaitu sekitar 23 % dari jumlah total penduduk dunia.

Dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas memeluk Islam, Indonesia adalah negara terbesar jumlah umat Islamnya hingga saat ini tidak dapat terlepas dari peran para ulama, wali, da'i, atau pedagang muslim yang menyebarkan Islam di berbagai kepulauan Nusantara. Perkembangan Islam Nusantara yang sedemikian cepatnya dalam skala besar telah mampu mengubah hampir seluruh wilayah Nusantara ini sehingga mayoritasnya menganut Islam.

Perkembangan Islam diawali berdirinya Kerajaan Islam Samudra Pasai dan Peureulak di Aceh, kemudian di tanah Jawa berdiri Kerajaan Islam Demak, yang membawahi Cirebon, Jayakarta, Banten, Giri, hingga Mataram. Kemudian di Sulawesi ada Kerajaan Islam Gowa, Tallo, dan Bone, serta Kerajaan Islam Ternate dan Tidore di Maluku, disusul dengan daerah-daerah lain.

 

A.    Teori masuknya Islam ke Indonesia

Sebagian besar buku sejarah Indonesia dijumpai keterangan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Namun, beberapa penelitian sejarah membuktikan bahwa banyak peninggalan benda sejarah yang ditemukan lebih tua dibanding keterangan yang tercantum dalam beberapa buku sejarah Indonesia. Walaupun pendapat tersebut kurang tepat. Sebagian sejarawan mensinyalir bahwa keterangan tersebut diambil dari buku-buku yang ditulis pada zaman kolonial yang bertujuan untuk mengaburkan fakta sejarah Islam di Indonesia.

Sebagimana kita ketahui, agam Islam muncul di kota Makkah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pada tahun 571/632 M. Tanpa diprediksi sebelumnya, dakwah Islam ternyata mengalami proses pengembangan yang sangat cepat. Dalam waktu singkat, ajaran tauhid tersebut telah tersebar ke seluruh Negeri Arab dan negeri-negeri sekitarnya. Pada masa itu juga, yakni pada abad VI M, Agama Islam telah masuk ke kawasan Tiongkok dan terus menyebar ke kawasan Asia Tenggara, termasuk kawasan Nusantara telah kedatangan para saudagar Muslim pada abad VII M.

Banyak versi yang menyebutkan daerah asal para saudagar Muslim yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Nusantara pada abad VII. Di antaranya menyebutkan bahwa agama Islam mula-mula disiarkan oleh saudagar Gujarat- India, ada pula yang menyebutkan berasal dari Persia, dan ada juga yang menyebutkan berasal dari Arab. Pendapat yang menyebutkan bahwa para Saudagar Muslim itu berasal dari Arab berargumen bahwa tempat-tempat seperti Cambay, Gujarat maupun Malabar hanya sebagai tempat persinggahan bagi para penyiar agama Islam tersebut. Dengan demikian, mereka juga para saudagar yang berasal dari Arab.

Di bawah ini diuraikan tentang teori-teori masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu:

1.      Teori Gujarat

Kebanyakan Sarjana Barat terutama dari Belanda mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 Hijriah. Dasar teori ini adalah sebagai berikut:

a.       Gujarat terletak di India bagian barat. Daerah ini berdekatan dengan Laut Arab dan memiliki posisi strategis di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang timur yang bermazhab Syafi'i telah bermukim di Gujarat dan Malabar. Oleh karena itu, menurut J. Pijnapel, orang yang membawa Islam ke Indonesia bukanlah orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat bermazhab Syafi'i yang berdagang ke dunia timur.

b.      Penemuan arkeologis berupa batu nisan pada makam Sultan. Malikus Saleh yang ditemukan di kerajaan Islam Samudra Pasai. Batu nisan itu bertuliskan angka tahun 686 H/1297 M dan diketahui memiliki kesamaan dengan batu nisan Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 1419 di Gresik Jawa Timur. Kedua batu nisan tersebut berdasarkan hasil penelitian berasal dari Cambay, Gujarat.


2.      Teori Persia

Pendapat lain menyatakan bahwa periode pertama masuknya Islam ke Indonesia di bawa oleh orang-orang Persia. Bukti-bukti yang mendasari teori ini adalah sebagai berikut:

a.       Adanya penemuan-penemuan batu nisan yang usianya lebih tua dari yang sebelumnya. Batu nisan tertua yang ditemukan bertuliskan nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H/ 1082 M. Bentuk batu dan tulisanya sama dengan batu nisan Ahmad bin Abu Ibrahim bin Arradh alias Abu Kamil (wafat Kamis malam, 29 Safar 432 H/ 1039 M) yang ditemukan di Phanrang, Vietnam. Pada kedua batu tersebut terdapat kaligrafi Arab dengan jenis huruf kufi bercorak Timur Tengah, yaitu dengan tanda hiasan bentuk kaligrafi atau lengkungan pada ujung yang tegak. Gaya huruf Kufi seperti itu berkembang di Persia pada akhir abad ke 10 M.

b.      Terdapat pengaruh Persia yang kuat terhadap kebudayaan, kesusastraan, pemikiran dan tasawwuf di Indonesia. Menurut pendapat Husein Djajadiningrat, kesamaan tradisi dalam memperingati 10 Muharrom atau dikenal dengan Assyura adalah bukti pengaruh Persia di Indonesia. Sejarawan Indonesia, Tjandrasasmita menulis bahwa hubungan bahari dan perdagangan antara Indonesia dan Timur Tengah, khusunya Iran, sejak abad ke-7 hingga 17 M sangatlah kuat, sehingga secara mendasar berdampak pada kebudayaan Indonesia. Kesamaan dalam hal kata serapan yang dipakai di Indonesia diyakini juga berasal dari Iran. Misalnya, jabar dari zabar, jer dari ze-er dan lainya. Istilah bahari dan administrasi juga diketahui berasal dari Iran, seperti bandar, nahkoda, kelasi, saudagar, godam dan bazar.

 

3.      Teori Arabia

Teori terbaru mengenai masuknya Islam di Indonesia kerap dikenal dengan teori Arabia. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M atau awal abad Hijriyah.

Teori pertama datang ke Nusantara menurut Ahmad Mansyur Suryanegara adalah Rombongan delegasi dagang yang diutus Khalifah Usman bin Affan r.a. ke Cina. Sambil memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Rombongan delegasi ini dikenal dengan Nahkoda Kholifah. Pengiriman delegasi ini terjadi pada tahun 30 Hijriyah atau 651 Masehi (abad 7 M/1 H) atau hanya berselang 20 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw. Dalam misi ini, para utusan kholifah sempat singgah di kepulauan Nusantara, dan dimungkinkan ada juru dakwah yang kemudian menetap di daerah Sumatera. Berikutnya Dinasti Umayah mendirikan pangkalan dagang di Pantai Barat Sumatera. Dari sinilah penduduk Indonesia banyak berkenalan dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka berdakwah sambil berdagang.

Pendapat ini didasarkan pada tulisan-tulisan yang termuat dalam naskah-naskah Cina pada Dinasti Tang. Dan beberapa catatan sejarah diketahui bahwa sekitar abad ke-7 M telah terdapat pemukiman masyarakat Muslim di daerah Barus (terletak di bagian pantai barat laut), juga di daerah Perlak (bagian pantai timur) Sumatera Timur. Salah satu catatan penting ditulis oleh seorang rahib Cina bernama I Ching yang melakukan perjalanan dari Canton menuju India. Pada tahun 674 M (abad ke-7 M), ia singgah di Bhoga (suatu daerah di Palembang, Sumatera Selatan). Di situ, ia menemukan adanya komunitas Arab dan Persia Muslim yang disebutnya sebagai komunitas Tasyih dan Posse. Mereka umumnya para pedagang yang telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Karena hubungan itu dianggap saling menguntungkan, maka Raja Sriwijaya memberikan daerah khusus bagi komunitas pedagang tersebut. Di perkampungan tersebut orang Arab berdakwah dan menikah dengan penduduk lokal serta membentuk komunitas-komunitas muslim yang semakin banyak. Agama Islam ke Indonesia berasal dari Arabia melalui beberapa jalur laut yaitu:

a.       Jalur Utara, berasal dari pusat Islam di Makkah dan Madinah, melalui Damaskus (Syiria/Syuriah), Baghdad (Irak), lalu memasuki pantai sebelah barat India (Gujarat), kemudian masuk ke Sri Langka dan akhirnya masuk ke Indonesia.

b.      Jalur selatan, berasal dari Jazirah Arab (Makkah dan Madinah) melalui Yaman, menyusuri pantai barat India (Gujarat), Sri Langka dan masuk ke wilayah Indonesia.

 
B.     Perkembangan Islam di Indonesia

1.      Perkembangan Islam di Sumatra

Agama Islam masuk ke Sumatera pada abad VII M, langsung dibawa oleh para penyebar Islam dari Arab, yang kemudian diikuti oleh orang Persia dan India. Selanjutnya secara berangsur angsur disiarkan oleh bangsa Indonesia sendiri hingga tersebar luas bukan saja di kawasan Sumatera, melainkan ke seluruh kepulauan Indonesia.

Kerajaan Budha Sriwijaya (tahun 683-1030 M) sedikit banyak mempengaruhi pertumbuhan Islam yang baru masuk ke Indonesia. Setelah kerajaan Sriwijaya mendapat serbuan dari Raja Rajendracoladewa dari India tahun 1030 M, kekuatan kerajaan menjadi lemah sehingga daerah-daerah yang baru mengalami proses pengislaman mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki kesempatan yang baik untuk mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Pasai. Pada saat itu dakwah Islam khususnya di daerah Aceh dan Sumatera Utara mulai memperluas wilayahnya. Maka berkembanglah Islam dari Pasai ke Mamlak, Tapanuli, Riau, Minangkabau, Kerinci, dan ke daerah-daerah lainnya.

a.       Samudera Pasai

Kerajaan ini terletak kurang lebih 15 km di sebelah timur Lhokseu mawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Sultan per tamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H/ 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Ra ja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh se belumnya hanya kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut Agama Islam kemudian berganti nama menjadi Malik as-Shaleh.

Berikut merupakan urutan raja-raja yang memerintah Kesultanan Samudra Pasai:

1)      Sultan Malik as-Shaleh (1275-1297M)

2)      Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326 M)

3)      Sultan Mahmud Malik Zahir (1346-1383 M)

4)      Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405)

5)      Sultanah Nahrisyah (1405-1412)

6)      Abu Zain Malik Zahir (1412)

7)      Mahmud Malik Zahir (1513-1524 M)

 

b.      Kesultanan Aceh Darussalam

Pada tahun 1520 M, Aceh berhasil memasukan Kerajaan Daya ke dalam kerajaan Aceh Darusslam. Kekuasaan Aceh Darussalam pada tahun 1524 menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kesultanan Aceh dibawah Sultan Al-Mughayat Syah menyerang kapal portugis di bawah Komando Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

Pada tahun 1529 M, Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka. Tetapi batal karena Sultan Al-Mughayat Syah wafat pada tahun 1530 M dan dimakamkan di Kandang Meuh (Banda Aceh). Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar (1538-1571). Usaha-usaha yang dilakukan beliau yaitu mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada tahun 1563 M. ia mengirim utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.

Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar menyerang dan menaklukan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh Sultan Allauddin Riayat Syah al-Qahar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus. Dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah-daerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.

Kekuasaan dan kecemerlangan Aceh berakhir pada masa pemerintahan Iskandar Muda, karena ia tidak menyiapkan penggantinya. Ini dilatarbelakangi keinginannya untuk menjadi penguasa mutlak di Aceh. Ia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi. Aceh lambat laun sirna dan percaturan perdagangan dunia, hingga akhirnya Belanda datang ke Aceh, lalu berperang di sana selama puluhan tahun yang mengakibatkan Aceh mengalami kemerosotan total dalam segi kenegaraan.

 


2.      Perkembangan Islam di Jawa

Pada masa-masa masuknya Islam di Jawa, kondisi politik kerajaan Hindu, baik Jawa Jawa Timur masih sangat kuat. belakang tidak tersiar dengan cepat dan mudah. Setelah mengalami proses yang lama (antara abad 7-16 M). Dengan kemerosotannya kerajaan Majapahit Agama Islam berkembang dengan pesat di tanah Jawa dengan di kirimnya tim dakwah dari Khalifah Turki Ustmani (M. Sultan Muhammad I/Muhammad Jalabi) yang di kenal sebagai pendiri Daulah Ustmaniyaah ke-2. Tim dakwah ini di pimpin oleh Syaikh Maulana Malik Ibrohim pada tahun 1402 M, dikemudian hari dikenal dengan Wali Sanga angkatan pertama.


Walisanga adalah simbol perintis Islam bagi penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Tentu saja banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam berdakwah secara langsung maupun seruan jihad fisabilillah hingga mendirikan kerajaan Islam di Jawa, dan juga pengaruhnya terhadap pembentukan peradaban Islam di masyarakat, membuat para wali sanga ini lebih sering disebut daripada orang lain. Mereka juga berjasa dalam mempertahankan negara dari ancaman penjajah Portugis. Wali wali Sembilan tersebut adalah:

a.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Maulana Malik Ibrahim juga terkenal dengan nama Maulana Magbribi yang berasal dari negeri Arab keturunan dari Zainul Abidin bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 882 H / April 1419 M. Masa kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa tahun 1404 M bertepatan dengan masa kepemimpinan Kholifah Turki Utsmani, yaitu Sultan Muhammad I (1379-1421 M), putra Sultan Bayazid I dalam masa Sultan Bayazid 1, di Timur Tengah telah terjadi berbagai pertempuran. Selain Daulah Utsmani harus berhadapan dengan Salibis Eropa sebagai kelanjutan perang Salib. Juga serangan dari Timur Lenk yang menguasai Persia, termasuk Samarkand dan Uzbekistan.

Di dalam Dokumen Kropak Ferarra diceritakan nama Syeikh Ibrahim yang disegani ajaran dan fatwanya serta menjadi panutan para wali sesepuh, termasuk Raden Fatah (Sunan Ampel).

Menurut Walisanga versi R. Tanoja bahwa Maulana Malik Ibrahim itulah mula-mula tetalering waliullah, yaitu nenek moyang pertama bagi wali-wali. Beliau datang ke Sembalo (Gresik) pertama kali pada tahun 1404 M dan wafat pada 10 April 1419 M. Dengan demikian, beliau hidup di Jawa selama 15 tahun. Maulana Malik Ibrahim lebih di kenal penduduk setempat dengan nama Sunan Bantal. Maulana Malik Ibrahim memiliki tiga istri, yaitu :

1)      Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha (Sunan Santri/ Raden Santri) dan melahirkan 3 putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran), Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja'far Shadiq (Sunan Kudus).

2)      Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad.

3)      Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Pada batu nisan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di kampung Gapura, Gresik Jawa Timur terdapat beberapa ayat Al-Qur'an yaitu Surat Ali Imron: 185, Ar Rahman : 26-27, At-Taubah: 21-22, dan Al-Baqoroh : 255.

b.      Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Raden Rahmat berasal dari Campa, ayahnya berasal dari Arab dan ibunya berasal dari Campa. Ia menikah dengan seorang putri dari Tuban, bernama Nyai Ageng Manila. Dari pernikahannya melahirkan Makhdum Ibrahim, Maseh Munat dan Nyai Gede Malihan.

Sunan Ampel dikenal sebagai salah seorang wali yang berjuang menegakan Islam. Jasanya sangat besar dalam menggelorakan dakwah dan jihad di tanah Jawa. Apabila Syeikh Maulana Malik Ibrahim perintis jalan Islam di Jawa maka Sunan Ampel adalah penerus cita-cita perjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dari tangan beliaulah muncul kader-kader ulama dan para pemimpin Islam yang sangat tangguh. Di antaranya Ainul Yaqin (Sunan Giri), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) Sultan Fattah (Raden Fattah), Ja'far Shodiq (Sunan Qudus), dan Maseh Maunat (Sunan Drajat). Bahkan Maulana Ishaq yang merupakan ayah Sunan Giri pun sebagai anggota Wali Songo masih taat kepada beliau.

Sunan Ampel datang dari negeri Campa. Beliau mendirikan pesantren di Ampel Denta (Surabaya) untuk mempersiapkan para ulama, da'i, dan para pemimpin Islam. Beliau pula yang mencetuskan ide untuk mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan memerintahkan Sultan Fattah hijrah ke Gelagah Wangi Sunan Ampel ikut berperan mendirikan Masjid Agung Demak

Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel ikut merintis berdirinya kerajaan Islam di Jawa tersebut la pula yang menunjuk muridnya, Raden Fattah, putra dari Prabu Brawijoyo V, Raja Majapahit, untuk menjadi Adipati Projo Demak Bintoro tahun 1477 M.


c.       Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Maulana Makdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Ia dilahirkan pada tahun 1465 M di Ampel. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel,

Sunan Bonang banyak berdakwah melalui seni sastra dan bahasa untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan penggubah suluk wijil atau tembang tamsil Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati (dan bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

d.      Sunan Giri (Maulana Ainul Yakin)

Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin) adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Karena Ainul Yaqin tinggal di Giri, maka beliau lebih di kenal dengan sebutan Sunan Giri. Beliau wafat tahun 1506 M. Makam beliau terletak di bukit Giri Gajah, Dusun Kedaton, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Giri mendirikan pondok pesantren di Giri Kedaton, Gresik. Selanjutnya pondok pesantren tersebut berperan besar sebagai pusat dakwah di wilayah Jawa dan Nusantara Timur, bahkan sampai kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima, kepulauan Nusa Tenggara Barat. Beliau juga diberi gelar dengan Prabu Satmata. Bahkan, karena kehebatan beliau dalam ilmu fikih, maka disebut juga Sultan Abdul Fakih. Bangsa Barat juga menyebut Sunan Giri sebagai "Paus dari Timur".

e.       Sunan Drajat (Raden Syarifuddin)

Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, dan merupakan adik dari Sunan Bonang. Nama aslinya adalah Raden Qasim atau Maseh Maunat yang kemudian di kenal dengan Sunan Drajat. Dia adalah wali yang memelopori penyantunan anak anak yatim dan orang sakit.

Sunan Ampel memerintahkan Sunan Drajat untuk berdakwah ke pesisir barat Gresik. Maka, berlayarlah Sunan Drajat dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalananan, perahu yang ditumpangi Sunan Drajat terseret badai dan kemudian pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Sunan Drajat selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.

Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Beliau menekankan kedermawanan, kerja keras dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari ajaran Islam. Pondok Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah Perlak, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebut sebagai ciptaannya. Gamelan Singhomengkok peninggalanya terdapat di museum Daerah Sunan Drajat Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan aqidah, Sunan Drajat mengikuti cara ayahnya, yaitu tidak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampainya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria, terutama seni suluk Beliau mengubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah:

1)      Paring teken marang kang kalunyon lan wuta = Berikan tongkat kepada yang terpeleset dan buta.

2)      Paring pangan marang kang kaliren = Berikan makan kepada yang kelaparan.

3)      Paring sandang marang kang kawudan = Berikan pakaian kepada yang telanjang.

4)      Paring payung marang kang kodanan = Berikan payung kepada yang kehujanan.

f.        Sunan Kalijaga (Raden Mas Said)

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 M di Tuban, Jawa Timur dengan nama Raden Said. Dia adalah putra Adipati Wilwatikta yang bernama Raden Sahur Ki Tumenggung (Raden Sahur Tumenggung Wilwatikta) dan berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga disebut dengan beberapa nama seperti Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Ia menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Dan pernikahkan ini membuahkan keturunan Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Safiah.

Sunan Kalijaga adalah Wali yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah. Beliau mengajarkan Islam dengan cara memasukkan hikayat Islam ke dalam cerita wayang, melakukan dakwah kepada para petani dengan memberi alat-alat pertanian. Alat-alat itu ditafsirkan satu persatu yang mengandung pengertian agama. Karenanya rakyat sangat mencintainya dan sangat populer di kalangan masyarakat jelata. Berkat dakwahnya yang bijaksana, banyak masyarakat yang masuk Islam. Di antara jasa besar Sunan Kalijaga adalah pendirian Masjid Agung Demak dengan soko tatal-nya, kesenian wayang kulit beserta gamelannya, serat lagu lir-ilir dan gundul-gundul pacul. Setelah wafat, Sunan Kalijaga dimakamkan di desa Kadilang, Demak.

g.      Sunan Kudus (Syeikh Ja'far Shiddiq)

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.

Kudus sebuah mendirikan masjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Ada hal menarik berkenaan dengan pembangunan masjid Kudus tersebut. Sunan Kudus sewaktu menunaikan haji ke kota Makkah beliau menyembuhkan suatu wabah. Maka atas jasanya ini, oleh Amir atau penguasa setempat, ia diberi hadiah. Namun Sunan Kudus berharap agar hadiah tersebut berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis. Permintaannya lalu dipenuhi sang Amir. Sebagai peringatan mengenang peristiwa tersebut. sekembalinya di Jawa, ia mendirikan Masjid lengkap dengan menaranya yang diberi nama Al-Quds berarti suci, yaitu nama negeri Baitul Maqdis.

h.      Sunan Muria (Umar Sa'id)

Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.

Sunan Muria bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut. Sunan Muria seringkali dijadikan sebagai penengah dalam persoalan internal di Kesultanan Demak (1518-1530 M). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Sunan Muria berdakwah di Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya melalui seni sastra adalah tembang Sinom dan Kinanti.

i.        Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatulloh)

Syarif Hidayatulloh atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 M dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (seorang penguasa Mesir) dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).

Hasil musyawarah di Ampel Dento untuk menggantikan Muhammad Ali Akbar dan Maulana Malik Isro'il. Maka para wali membagi tugas. Sunan Ampel, Mualana Ishaq dan Mualana Jumadil kubra tetap bertugas di wilayah Jawa bagian Timur. Syekh Subakir, Mualana Maghribi, dan Ja'far Shodiq tetap bertugas di Jawa bagian Tengah. Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddi, dan Syarif hidayatulloh bertugas di Jawa bagian Barat. Syarif Hidayatulloh ditugaskan di Cirebon karena Ibunya berasal dari tanah Sunda dan Pangeran Walangsungsan yang merupakan pamannya menjadi Kusu penyebar Islam di Cirebon.

Jasa Sunan gunung Jati di antaranya adalah menaklukkan pulau Jawa dengan membangun kerajaan Banten dan Cirebon, dan dapat merebut Sunda kelapa dari tangan Portugis. Sunan gunung Jati mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tahun 1572 M.


3.      Perkembangan Islam di Sulawesi

Perkembangan Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan Islam di Jawa dan Sumatera. Pengislaman di Sulawesi dilakukan dengan cara damai. Ada pertentangan bahwa Islam masuk ke Sulawesi bukan karena kepentingan pengembangan Islam, melainkan karena kepentingan politik kerajaan Islam dengan kerajaan Gowa dengan kerajaan Sopeng. Penyebar Islam di Sulawesi yang http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam terkenal adalah Dato'ti Bandang dan Dato' Sulaiman. Dato'ti Bandang berasal dari Jawa, murid dari Sunan Giri. Ia mengajarkan agama Islam kepada rakyat dan raja.

Daerah pelopor pengembangan agama Islam di Sulawesi adalah di Gowa-Tallo. Semula Gowa-Tallo hanya kerajaan kecil yang terdiri dari sembilan daerah, yaitu: Tombalo, Laking, Sauman, Parang-parang, Data, Agong-Jene, Besir, Klling, dan Sero. Sembilan daerah tersebut terus diperluas ke daerah Katinggang, Parisai, Sedang, Sindereng Lembayung, Bulu Komba dan Selayar. Daerah-daerah sebanyak itu diislamkan oleh Gowa-Tallo, setelah daerah-daerah kerajaan Sopeng Wajo, dan akhirnya kerajaan Bone sekitar tahun 1606 diislamkan oleh Gowa-Tallo.

Pada waktu kerajaan Gowa berdiri di bagian Selatan Sulawesi, di bagian Utara berdiri pula kerajaan Bolang Mongondo yang berhaluan Kristen. Yacobus Manoppo adalah Raja pertamanya, memerintah tahun 1689-1709 M. Para Muballigh Bugis datang menyiarkan agama Islam ke bagian Utara pada abad XVIII M yang dipelopori oleh Hakim Bugis dan Imam Tuwako. Secara perlahan-lahan masyarakat kalangan bawah banyak yang tertarik kepada Islam. Bahkan pada tahun 1844 M Raja Yacobus masuk Islam secara terang-terangan, sehingga secara berbondong-bondong banyak masyarakat yang ikut masuk Islam.

Banyaknya kaum Kristiani yang memeluk Islam karena beberapa hal, antara lain:

a.       Tertarik kepada kepribadian para muballigh Islam

b.      Para muballigh Bugis mampu menjelaskan agama Islam terutama yang berkaitan dengan masalah ketuhanan.

c.       Terputusnya bantuan dan dukungan pemerintahan Hindia Belanda yang selama itu diberikan VOC.

 

4.      Perkembangan Islam di Kalimantan

Sebelum agama Islam masuk ke Kalimantan, masyarakat banyak yang memeluk agama Hindu, terutama karena pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1485 M, mulai timbul pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Raja Banjar atau Raden Samudra yang beragama Hindu minta bantuan Sultan Demak. Demak bersedia memberi bantuan dengan syarat Raja Banjar dan penduduknya memeluk Islam. Raja Banjar mengganti namanya menjadi Suryanullah. Sultan Suryanullah dengan bantuan dari Demak dapat mengalahkan kerajaan Negaradipa dan agama Islam pun semakin berkembang di kawasan Kalimantan.

Hasan Muarif Ambary dalam prasarannya yang berjudul "Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan", mengemukakan ada lima Imam (Penghulu) Demak selama Kerajaan Demak berdiri (1490-1506 M), yaitu:

a.       Sunan Bonang atau Pangeran Bonang

b.      Makdum Pembayun

c.       Kiayi Pembayun

d.      Penghulu Rahmatullah

e.       Sunan Kudus

Jika dilihat masa pemerintahan Raden Samudera atau berdirinya Kerajaan Banjar, maka ketika Imam terakhir itulah salah satu di antara mereka mungkin merupakan tokoh yang hadir untuk mentahbiskan Raden Samudera. Sementara itu dalam sejarah Banjar terkenal seorang Penghulu bernama Khatib Dayyan. Bagi masyarakat Banjar, Khatib Dayyan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Kalimantan Selatan. la juga dikatakan sebagai seorang yang berjasa dalam mengislamkan Raden Samudera dan rakyatnya. Makamnya berada di dalam Kompleks Makam Sultan Suriansyah.

Pada abad XVI M atau pada tahun 1590 M Kerajaan Sukadana resmi menjadi kerajaan Islam, dengan Sultan pertamanya adalah Sunan Giri Kusuma. Setelah itu digantikan oleh puteranya, yaitu Sultan Muhammad Syarifuddin. Beliau banyak berjasa dalam mengembangkan Islam karena bantuan seorang muballigh bernama Syeikh Syamsuddin.

Di Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Kerajaan Hindu-Budha berubah menjadi kerajaan Islam karena adanya Islamisasi, di antara kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kesultanan Pasir (1516 M), Kesultanan Banjar atau Banjarmasin (1526-1905 M). Kesultanan Kotawaringin, Pagatan (1750 M), Kesultanan Sambas (1671 M), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400 M), Kesultanan Sambaliung (1810 M), Kesultanan Gunung Tabur (1820 M), Kesultanan Pontianak (1771 M), Kesultanan Tidung (1731 M).

 

5.      Perkembangan Islam di Maluku dan Irian

Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia di kawasan timur Nusantara. Maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 M hingga abad ke-19 M kawasan ini menjadi perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda.

Di Maluku terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore. Sejak abad ke-14 M dua kerajaan tersebut menjadi kerajaan Islam karena adanya proses dakwah yang semakin luas. Kerajaan Islam di Maluku Utara di antaranya adalah Kesultanan Ternate (1465 M), Kesultanan (1495 M), Kesultanan Tanah Hitu (1470 M).

Sultan Zainal Abidin adalah raja Ternate ke-18 yang berkuasa antara 1486-1500 M. Dia adalah penguasa Ternate pertama yang menggunakan gelar Sultan sebagai gelar raja di Ternate, menggantikan gelar Kolano yang digunakan pendahulunya. Selain itu, Sultan Zainal Abidin juga merombak adat dan pemerintahan kerajaan, menjadikan syariat Islam sebagai dasar. Dengan demikian Ternate dibawanya bertransformasi penuh menjadi sebuah Kerajaan Islam.

Sultan Zainal Abidin yang memerintah Ternate (1486-1500 M) telah masuk Islam. Demikian juga Sultan Cililiyati dari Tidore dan Sultan Hasanudin dari Jailolo. Sebelum ketiga orang sultan tersebut masuk Islam, rakyat Maluku sudah banyak yang masuk Islam. Pada masa itu, masyarakat Muslim sudah banyak yang berada di Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Bacan.

Hubungan antara Maluku dan Jawa erat sekali. Sultan Zainal Abidin sendiri mendapat pelajaran agama Islam di Giri. Sultan juga membawa mubaligh dari Giri bernama Tuhubahahul agar mengajar dan mengembangkan Islam di Maluku. Sejak tahun 1575 M, Sultan Babullah di Ternate terus mengembangkan agama Islam, sehingga Islam banyak di peluk oleh rakyat Mindanau, Sumbawa, Irian, Sulawesi, dan sampai pulau Buton.

Dengan berkembangnya Islam di daerah Sulawesi dan Maluku, maka diperkirakan sejak abad ke 15 dan 16 Islam juga meluas ke daerah Nusa Tenggara dan Papua. Kerajaan-Kerajaan di Papua yang sebelumnya sudah ada lalu ikut berubah menjadi Kerajaan Islam, Di antaranya Kerajaan Wigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salwati, Kerajaan Sailolof, Kerajaan Fatagar.

Sementara itu, Islam tidak berkembang dengan pesat di Irian terutama karena kuatnya pengaruh masyarakat dan jauhnya jangkauan para mubaligh. Walaupun demikian Islam telah masuk di sana pada abad XVI M. Banyaknya Islam di sana karena pengaruh dari Sultan-Sultan Bacan yang dipelopori oleh Sultan Zainal Abidin. Daerah-daerah yang banyak pemeluk Islamnya antara lain: Misol, Salawati, Weigeo dan pulau Gebi.

 

6.      Perkembangan Islam di Nusa Tenggara

Sejak abad ke-16 M, Islam hadir di daerah Nusa Tenggara (Lombok). Islam di Lombok diperkenalkan oleh Sunan Prapen (putra Sunan Giri). Kemungkinan masuknya Islam ke Sumbawa ini melalui Sulawesi, yaitu melalui dakwah para mubaligh dari Makasar antara tahun 1540-1550.

Kemudian berkembang kerajaan Islam di Lombok, salah satunya adalah Kerajaan Selaparang. Yang berjasa menyebarkan Islam di Kawasan Nusa Tenggara adalah para pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan dan pedagang pedagang dari Jawa. Pengislaman di Nusa Tenggara sangat lancar dan mencapai prosentase yang tinggi, terutama di Lombok dan Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) mempunyai masjid tertua yang umumnya mencapai 413 tahun. Masjid tersebut bernama Masjid Ar-Raisiah yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Lombok. Masjid ini dibangun oleh ulama yang berasal dari Pulau Jawa. Di Sumbawa berhasil didirikan kerajaan Islam yang berpusat di Bima. Peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815 M, dimanfaatkan oleh H. Ali seorang mubaligh, cendekiawan dan pemimpin muslim Sumbawa untuk menyadarkan penduduk tentang kekuasaan Allah SWT, ternyata, usaha ini berhasil dengan bukti banyaknya masyarakat yang memeluk Islam.


Sumber: Buku Paket Pendidikan Tarikh SMA/SMK Muhammadiyah Kelas 12 terbitan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah

Komentar

POPULER