Khittah Muhammadiyah Secara Umum
Haedar Nashir dalam Memahami Ideologi
Muhammadiyah (2016) menyatakan bahwa konsep ideologi adalah
“sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Tidak hanya terkait
dengan seperangkat paham, pemikiran atau pandangan hidup, namun juga mencakup
tentang teori dan strategi perjuangan untuk mewujudkan paham tersebut dalam
kehidupan. Strategi perjuangan inilah yang dikenal dengan Khittah Perjuangan
Muhammadiyah.
Istilah khittah berasal
dari akar kata khaththa, yang bermakna: menulis dan merencanakan. Khittah juga berarti garis atau jalan. Jadi, khittah adalah
garis besar atau jalan perjuangan. Dalam konteks Muhammadiyah, khittah
merupakan seperangkat rumusan, teori, metode, sistem, strategi, dan taktik
perjuangan Muhammadiyah.
Khittah Perjuangan Muhammadiyah adalah dokumen yang
berisi garis-garis besar sejak berdiri kurang lebih 107 tahun silam tepatnya
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 atau 12 November 1912 Muhammadiyah sudah menetapkan 6
Khittah yang dirumuskan berdasarkan tantangan dan kebutuhan persyarikatan dalam
kurun waktu tertentu.
Berikut adalah 6
(enam) Khittah Muhammadiyah yang dihasilkan dari masa ke masa:
1. Khittah “Dua Belas Langkah Muhammadiyah” yang
dirumuskan tahun 1938-1940 pada masa kepemimpinan KH. Mas Mansur.
2. Khittah Palembang yang dirumuskan tahun 1956-1959 pada
Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang pada masa kepemimpinan Buya
AR (Ahmad Rasyid) Sutan Mansur.
3. Khittah Perjuangan Muhammadiyah 1969 atau Khittah
Ponorogo 1969 dirumuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun
1969.
4. Khittah Perjuangan Muhammadiyah 1971 yang dirumuskan
pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang masa kepemimpinan KH. AR.
Fachruddin
5. Khittah Perjuangan Muhammadiyah 1978 yang dirumuskan
dalam Muktamar Muhammadiyah 1978 di Surabaya masa kepemimpinan KH. AR.
Fachruddin
6. Khittah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara yang dirumuskan dan ditetapkan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah
Denpasar sehingga sering disebut Khittah Denpasar pada masa kepemimpinan Prof.
Dr. Ahmad Syafii Ma’arif.
Muhammadiyah
memilih strategi perjuangan dakwah non-politik praktis. Muhammadiyah menekankan
pada pembinaan masyarakat. Khittah dimaksudkan agar Muhammadiyah tetap
istiqomah dalam mengemban fungsi dakwah dan tajdidnya sebagai gerakan Islam
yang berkiprah dalam lapangan kemasyarakatan. Garis perjuangan di wilayah
kultural ini digariskan dengan Khittah Palembang yang lahir pada Muktamar 1956,
Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujung Pandang 1971, Khittah Surabaya 1978, dan
Khittah Denpasar 2002.
Strategi
perjuangan ini termasuk dalam ranah ijtihad serta menjadi bagian dari urusan
muamalah duniawiyah. Dakwah kemasyarakatan non-politik praktis merupakan
perjuangan yang mulia, penting, dan strategis, bagi kepentingan agama dan
bangsa. Muhammadiyah dapat memerankan perjuangan kebangsaan melalui banyak
saluran, dalam menjalankan fungsi-fungsi strategisnya sebagai organisasi kemasyarakatan.
Penyatuan antara partai politik dan organisasi dakwah justru menimbulkan
banyak mudharat (Haedar Nashir: 2016).
Begitu
seterusnya poin tentang politik selalu muncul dalam Khittah-Khittah selanjutnya
hingga Khittah Denpasar 2002. Ini terjadi karena memang situasi politik
nasional rentan menarik-narik Muhammadiyah terjebak dalam kancah politik
praktis ala partai. Oleh karena itu, Muhammadiyah merasa perlu membuat benteng,
garis batas yang jelas antara Muhammadiyah, partai politik dan politik praktis.
Khittah
Denpasar 2002 menyatakan bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan politik yang berorientasi
pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics,
politik praktis). Kedua, melalui kegiatan
kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun
kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang
bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik
di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok
kepentingan (interest groups).
Khittah
Ujung Pandang 1971 menghasilkan rumusan penting, semisal: “Muhammadiyah adalah
Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan
masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan
afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.” Poin lainnya
memberi kebebasan bagi anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya untuk
tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari
AD/ART, dan ketentuan yang berlaku di Muhammadiyah.
Setiap
zaman periodisasi kepemimpinan di Muhammadiyah, keadaan dan tantangan berubah
serta berbeda-beda. Di awal perkembangan Muhammadiyah terutama dekade
1930-1950-an kebutuhan akan adanya landasan-landasan ideologis bagi
persyarikatan lebih mendesak karena memang dirasa belum lengkap.
Ambil
contoh Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah baru disusun pada masa
kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo periode 1942-1953. Memasuki Orde Lama situasi
politik sangat dinamis dan cenderung memanas, tarikan pusaran politik praktis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara begitu kuat masuk ke lingkaran
Persyarikatan Muhammadiyah.
Tarikan-tarikan
politik praktis itulah yang menyebabkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu
berusaha mencari jalan keluar agar Muhammadiyah tidak terseret menjadi
organisasi masyarakat dan politik sekaligus.
Keinginan
agar Muhammadiyah tetap terjaga dari tarikan-tarikan politik praktis tersebut
akhirnya dituangkan dalam putusan Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo pada tahun
1969 yaitu Khittah Ponorogo yang didalamnya memuat batasan jelas antara
Muhammadiyah dan partai politik.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar